selaparangpost.com — Serangan Iran ke Israel pada Sabtu (13/04) sempat memicu kekhawatiran peningkatan ketegangan di kawasan Timur Tengah, yang dapat melambungkan harga minyak dunia. Apa dampaknya untuk perekonomian Indonesia?
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan bahwa pertikaian ini tak akan berdampak besar karena ketegangan bakal berangsur turun.
“Dampak [situasi] ketidakpastian [di tengah konflik] yang bisa kita rasakan secara langsung adalah harga minyak dunia, tapi ini tidak akan berlangsung lama,” ujar Fithra seperti dilansir BBC News Indonesia.
Senada, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Poppy Sulistyaning Winanti, juga melihat dampak ekonomi baru akan terlihat secara signifikan jika Israel memutuskan untuk menyerang balik Iran.
Meski demikian, Fithra dan Poppy tak menutup kemungkinan situasi dapat berubah drastis jika Israel tiba-tiba memutuskan menggempur Iran. Jika terjadi, perekonomian Indonesia akan terkena imbasnya.
Mengapa situasi berangsur membaik?
Sejak awal, para pengamat memprediksi ketegangan tak akan meningkat terlalu tajam karena Iran sudah memberi tahu Israel dan sekutunya, Amerika Serikat, bahwa mereka akan melakukan serangan.
Alhasil, Israel sudah lebih siap menghadapi serangan. AS, Inggris, Prancis, dan Yordania pun langsung membantu menghalau lebih dari 300 drone dan rudal yang ditembakkan Iran ke Israel.
Beberapa pengamat menganggap Iran sudah memperhitungkan agar serangan ini tak berdampak terlalu signifikan.
Menurut mereka, Iran hanya ingin “menyelamatkan muka” setelah Israel menyerang kantor konsulat mereka di Suriah pada 1 April.
“Tujuannya adalah untuk menunjukkan kapabilitas mereka, tapi tak menyebabkan peningkatan ketegangan,” ujar pengamat yang pernah menjadi penasihat kebijakan luar negeri beberapa perdana menteri Inggris, Tom Fletcher.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menganggap saat ini para pihak yang ada di pusaran konflik tersebut memahami bahwa mereka terjebak di situasi “Mexican standoff”.
Istilah itu biasa dipakai untuk merujuk pada situasi ketika para pihak yang terlibat dalam satu konflik mengetahui posisi mereka sama-sama kuat dan saling terancam.
Dalam kondisi seperti ini, tak ada strategi yang bisa membuat salah satu pihak menang. Jika satu saja dari mereka menyerang, bisa jadi bumerang untuk diri sendiri dan memicu konflik lebih besar.
“Mereka sebenarnya sudah saling tahu bahwa di belakang Iran ada Rusia dan China. Iran juga tahu bahwa di belakang Israel ada Amerika Serikat dan NATO,” tutur Fithra.
Poppy Sulistyaning Winanti juga menganggap kecil kemungkinan Israel menyerang balik, apalagi Iran diduga memiliki senjata nuklir.
“Dari kacamata hubungan internasional, kepemilikan senjata nuklir itu menjadi sesuatu yang penting dalam mencegah pihak lain untuk melakukan balasan atas tindakan mereka,” ucapnya.
Iran sudah berjanji tak akan melakukan serangan lagi selama Israel tidak macam-macam.
Israel sendiri masih mempertimbangkan bakal melakukan serangan balasan atau tidak – walau AS sudah mewanti-wanti agar mereka tak akan ikut menyerang Iran demi menghindari konflik lebih jauh.
Sikap Israel yang belum jelas ini menimbulkan ketidakpastian di kawasan, baik secara politik maupun ekonomi. Menurut Fithra, ketidakpastian ini yang dapat berdampak pada perekonomian Indonesia, walau tak signifikan.
“Dampak ketidakpastian yang bisa kita rasakan secara langsung adalah harga minyak dunia,” ucapnya.
“Namun, ini tidak akan berlangsung lama karena ya akan ada spike, tapi spike-nya mungkin paling lama sebulan sampai dua bulan.”
Meski demikian, Fithra tak menutup kemungkinan kondisi tiba-tiba memburuk karena salah satu pihak “menarik pelatuk” dengan melancarkan serangan lebih lanjut.
Apa dampak ekonomi jika ketegangan tiba-tiba meningkat?
Jika kemungkinan buruk terjadi dan perang pecah, Fithra khawatir harga minyak dunia akan naik.
“Kalau sudah seperti itu, maka kalau kita lihat dampak secara globalnya, pastinya harga minyak dunia akan di atas US$100 per barel,” ucap Fithra.
Iran memang masuk daftar 10 besar penghasil minyak terbesar dunia. Negara itu juga berada di Timur Tengah, kawasan yang kaya minyak.
Namun, menurut Fithra, harga minyak bakal naik bukan karena pasokannya berkurang akibat perang, tapi lantaran jalur perdagangannya yang terganggu.
Di selatan Iran, membentang Selat Hormuz yang merupakan jalur perdagangan minyak terpenting dunia. Sekitar seperlima produksi minyak global mondar-mandir Selat Hormuz setiap harinya.
Merujuk pada data Badan Informasi Energi Amerika Serikat, pada 2018 saja distribusi minyak melalui Selat Hormuz mencapai 21 juta barel per hari. Angka ini setara sekitar 21% konsumsi minyak global.
Apa pengaruhnya ke Indonesia?
Fithra memaparkan bahwa jika skenario itu terjadi, Indonesia sebagai negara importir minyak akan terkena imbasnya. Harga bahan bakar minyak (BBM) bakal meroket, yang kemudian diikuti dengan kenaikan harga komoditas lainnya.
“Dampak langsungnya bagi Indonesia adalah kalau pemerintah ingin mempertahankan harga BBM di level yang sekarang, maka beban subsidi BBM-nya itu pasti akan besar sekali,” tutur Fithra.
Berdasarkan perhitungan Fithra, pemerintah harus menambah anggaran untuk subsidi BBM hingga Rp50 triliun – Rp110 triliun.
Dengan proyeksi ini, pengeluaran pemerintah akan lebih besar ketimbang pendapatan dari pajak. Kondisi ini dikenal dengan istilah defisit fiskal.
“Kalau sudah Rp50 triliun – Rp100 triliun, artinya beban fiskal atau defisit fiskal yang sebelumnya APBN 2024 antara 2,3%-2,4%, defisit fiskalnya bisa jadi 2,8 % – 2,9%,” jelasnya.
Fithra waswas kondisi ini akan membuat investor kabur karena mereka tidak yakin Indonesia dapat menekan defisit fiskal pada 2025.
Akibatnya, nilai rupiah akan semakin turun. Saat ini saja, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sudah tembus Rp16.000.
Lebih jauh, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, juga menyoroti kemungkinan dampak jika pemerintah nantinya harus menaikkan harga BBM non-subsidi, bahkan hingga tarif dasar listrik dan elpiji untuk mengimbangi ongkos subsidi.
Harga pangan dan komoditas lain bisa meningkat
BBM, listrik, dan gas merupakan komoditas penting dalam proses produksi yang dilakukan produsen. Jika tarif komoditas itu naik, maka biaya produksi juga bisa meningkat.
Produsen pun dapat membebankan kenaikan itu ke masyarakat dengan cara menaikkan harga barang yang mereka produksi.
Ketika harga barang secara umum naik terus menerus, inflasi meningkat. Bhima memprediksi angka inflasi Indonesia bisa mencapai 5%, naik dari 2,61% pada 2023.
“Inflasinya naik terlalu tinggi. Efeknya adalah ke daya beli masyarakat. Sebenarnya daya beli masyarakat di kelompok menengah rentan ini sendiri sedang tertekan oleh berbagai kenaikan harga pangan,” katanya.
Suku bunga naik, bayar kredit makin sulit
Ketika harga-harga mulai naik dan inflasi meningkat, Bank Indonesia bisa saja menaikkan suku bunga acuan. Ketika bunga tinggi, konsumsi masyarakat diharapkan menurun.
Imbasnya, permintaan terhadap barang menurun dan peredaran uang berkurang. Sesuai hukum pasar, jika permintaan barang landai, harga akan cenderung merosot. Alhasil, tingkat inflasi juga bisa turun.
Namun, Bhima mengatakan bahwa kebijakan ini dapat menekan warga yang sedang berupaya melunasi berbagai cicilan.
“Mereka yang memiliki cicilan kendaraan bermotor, cicilan KPR, dengan bunga floating atau dengan bunga mengambang, itu langsung akan tercermin karena bunga tingginya akan bertahan lebih lama,” katanya.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah?
Setelah mengidentifikasi berbagai masalah yang bisa mencuat jika ketegangan di kawasan Timur Tengah meningkat, Fithra memaparkan sejumlah cara yang dapat menjadi solusi bagi pemerintah.U
ntuk meredam inflasi, pemerintah dapat melakukan dua opsi intervensi. Pertama, mengatasi inflasi di sektor lain agar dapat meredam dampak inflasi di sektor energi bagi masyarakat.
Ia mengambil contoh siasat yang diterapkan Presiden Joko Widodo pada Agustus 2022. Saat itu, banyak pihak khawatir inflasi dapat menyentuh angka 10% karena harga BBM naik.
Jokowi lantas meminta masyarakat menanam cabai, komoditas yang menyumbang inflasi tinggi enam bulan sebelumnya. Jika persediaan cabai cukup, maka harganya akan turun di pasaran.
“Kita lihat imbasnya di Oktober, bahkan cabai sudah deflasi, padahal di bulan September harga BBM disesuaikan [naik],” ucap Fithra.
Alhasil, inflasi Indonesia saat itu di bawah 6%.I ntervensi kedua adalah mengurangi dampak inflasi dari luar negeri, yaitu kenaikan harga minyak dunia yang pada akhirnya berpengaruh pada harga-harga komoditas impor lainnya.
“Untuk itu antisipasinya bagaimana? Pemerintah bisa mengidentifikasi produsen-produsen yang memiliki komponen impor tinggi dan dampak ekonominya besar. Jadi, tidak semua produsen,” katanya.
Setelah itu, pemerintah dapat membantu produsen yang memiliki dampak ekonomi besar itu dengan cara memberikan subsidi ketika mereka ingin mengimpor bahan.
“Itu bisa dilakukan subsidi sehingga harganya itu tidak ditransmisikan ke level konsumen dan harga jadi naik, tapi diserap pemerintah lewat jalur subsidi tersebut,” ucap Fithra.