SELAPARANGPOST.COM — Keputusan tegas Pemerintah Arab Saudi untuk tidak menerbitkan visa haji Furoda (non-kuota) untuk musim haji 2025 adalah langkah yang patut diapresiasi.
Ini bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan sebuah manuver strategis yang berpotensi melahirkan dua dampak positif signifikan: meningkatnya kenyamanan jemaah haji secara keseluruhan dan pukulan telak bagi praktik haji ilegal yang marak.
Selama ini, “Haji Furoda” – yang sebenarnya adalah visa mujamalah atau undangan resmi dari Kerajaan Arab Saudi – kerap menjadi celah bagi oknum tak bertanggung jawab. Mereka menjanjikan keberangkatan instan tanpa antrean, seringkali dengan biaya selangit dan tanpa jaminan kepastian.
Jemaah yang tergiur “jalur cepat” ini kerap menjadi korban penipuan, terlantar, atau bahkan berhaji dengan visa non-haji yang melanggar aturan. Situasi ini tidak hanya merugikan jemaah secara finansial dan spiritual, tetapi juga menciptakan kepadatan tak terkendali di Tanah Suci, mengganggu kelancaran ibadah jemaah haji resmi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 memang mengakomodasi keberadaan visa mujamalah, mengharuskan jemaah yang mendapatkannya untuk berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) berizin dan melapor kepada Kementerian Agama.
Namun, pengawasan di lapangan seringkali sulit, dan praktik “haji koboi” di luar prosedur kerap luput dari pantauan. Dengan penutupan jalur Furoda secara total oleh Arab Saudi, pintu bagi penyalahgunaan ini praktis tertutup. Ini memaksa semua pihak, baik calon jemaah maupun biro perjalanan, untuk mengikuti jalur resmi yang sudah ditetapkan, yaitu haji reguler atau haji khusus kuota.
Langkah Arab Saudi ini adalah sinyal jelas: ibadah haji adalah urusan serius yang membutuhkan ketertiban dan kepatuhan. Ini bukan sekadar perjalanan wisata, melainkan ritual suci yang melibatkan jutaan jiwa. Kenyamanan dan keselamatan jemaah harus menjadi prioritas utama.
Dengan meniadakan “jalur belakang” yang rentan disalahgunakan, Pemerintah Arab Saudi menunjukkan komitmennya untuk memastikan bahwa setiap jemaah dapat beribadah dengan tenang, aman, dan khusyuk, tanpa perlu khawatir akan kepadatan ekstrem atau masalah perizinan.
Bagi Indonesia, kebijakan ini juga menjadi momentum emas untuk membersihkan ekosistem haji dari praktik ilegal. Ini adalah kesempatan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menindak tegas sindikat haji ilegal yang selama ini merugikan masyarakat. Dengan tidak adanya visa Furoda, alasan bagi penipuan dan janji manis “jalur cepat” otomatis hilang.
Singkatnya, peniadaan visa Furoda adalah keputusan berani yang membawa angin segar bagi penyelenggaraan haji. Ini adalah langkah maju menuju ibadah haji yang lebih tertib, aman, dan nyaman, sekaligus tamparan keras bagi para pelaku “haji ilegal” yang hanya mencari keuntungan di atas kesucian ibadah.