Ini Tentang Aku (Putu Ayub)
“Dewi, apa kabar?” tanya Ribka “Kabar baik”
“Wah lama tidak ketemu, sekarang lihat kamu makin cantik saja”
“Ah, ada-ada saja. Sama kok seperti dulu,” balasku singkat. “Gimana, sudah nikah?”
Mendengar pertanyaan itu hatiku jadi terganggu. “Tidak usah tanya, ah…” jawabku pada Ribka dengan hati kesal.
“Boleh dong ku tanya gitu, usiamu sekarang kan sudah 32 tahun. Kamu perempuan lho,” jelas Ribka.
“Emang sejak kapan aku jadi laki-laki? Udah tidak usah tanyakan itu lagi. I am single i’m very happy.”
Kami pun mengganti pembicaraan dengan masalah peker jaan. Seharian penuh kami ngobrol di Kafe Rindang, tempat makanku dengan Ribka saat masih kuliah. Waktunya Ribka kembali ke Jakarta kamipun akhirnya berpisah.
Sepulang dari pertemuan itu, aku kembali memikirkan pem bicara kami siang tadi. Betul juga omongan Ribka, perempuan seusiaku harusnya sudah momong anak tapi aku belum nikah juga.
Akupun teringat dengan masa kuliah dulu. Aldo laki-laki tam pan dari fakultas sebelah senang menghampiriku. Sesekali ia me ngajakku makan atau jalan. Yah, sebagai anak kos ku iyakan saja, lumayan berhemat mumpung ditraktir. Sampai satu waktu kami berdua duduk di Kafe Rindang.
“Dewi, hari ini kamu tampil cantik sekali,” gombal Aldo.
“Ah, gombal,” jawabku singkat. “Pasti ada maunya kamu Aldo.”
“Tidak ada kok, aku cuman mau tanya sama kamu.”
“Tanya apa?” dalam hati ku tahu kalau dia mau nyatakan cinta.
Ternyata benar, “Maukah kamu menjadi pacarku?” tanya Aldo tanpa rasa malu.
“Pacar? Emang siapa kamu mau pacaran sama aku? Aku kan gadis tercantik sefakultas. Tidak ngaca kamu?”
Mendengar kata-kataku, wajah Aldo memerah, matanya ber kaca-kaca. Kemudian ia pergi meninggalkanku sendiri. Kamipun akhirnya tak pernah jalan sendiri.
Beberapa waktu kemudian ada Anton yang mencoba men dekatiku, tapi kuperlakukan sama. Tak lama berselang datang Timo, tapi perlakuanku sama. Sekarang ku sadar kalau aku tak bisa seperti itu lagi. Ribka benar, aku sudah harusnya menikah. Ku coba ingat-ingat teman laki-laki yang belum menikah, tapi se mua sudah pada nikah. Kecuali Antok, adik kelasku di SMA, dia dua tahun lebih muda dariku. Tak masalah pikirku, yang penting aku nikah. Ganteng, ah itu nomor dua. Baik, itu nomor tiga. Rajin, bisa diabaikan. Yang penting aku nikah, daripada dianggap bujang lapuk.
Kuputuskan untuk temui Antok di tempat nongkrongnya. Di sana ada Heny, Sinta, Dina, dan semua teman ceweknya. Kuajak dia empat mata untuk membicarakan maksudku. Akhirnya ia bersedia. Kami kemudian mengatur waktu agar keluarga kami bisa berremu untuk membicarakan pernikahan kami. Pertemuan keluarga memutuskan agar kami segera menikah dan waktu yang ditentukan adalah 20 Agustus 2017.
Malam, tanggal 19 Agustus 2017, Heny dan Sinta datang mencari Antok.
“Dewi,” sapa Heny dengan nada keras. “Mana Antok?” tanya Sinta.
“Belum datang, ada apa?” tanyaku penasaran.
“Itu si Dina kecelakaan, Antok harus urus tuh,” ucap Sinta. “Gini saja, kalau nanti ia datang ku kasih tahu dia,” jawabku polos tanpa tahu kecelakaan apa yang terjadi.
Karena kesibukan mempersiapkan pernikahan akupun lupa memberi tahu Antok, hingga akhirnya keesokan harinya Dina datang ke acara pernikahan kami. Aku pun kaget, ternyata Dina datang dalam keadaan tidak ada luka, tapi hamil dengan perut yang sudah mulai membesar. Sontak Antok kaget. Pernikahan kami pun akhirnya batal. Ternyata kecelakaan dimaksud itu Dina hamil oleh karena Antok.
Kutak dapat menahan perasaanku yang sedih dan rasa malu pada semua tamu. Dihari pernikahan itu hadir Ribka. Tiba-tiba Ribka merangkul ku.
“Dewi, jika kamu ingin menikah bukan seperti itu caranya.
Tenangkan dirimu,” hibur Ribka padaku. “Tapi usiaku?”
“Benar usiamu sudah kepala tiga harusnya kamu bisa lebih dewasa memilih teman hidup,” jelas Ribka.
Tak lama acarapun bubar. Ku masuk kamar dan ku renung kan jika dulu ku jual mahal dengan keangkuhan ku, sekarang kutawarkan diriku tak ada yang mau. Seolah-olah sekarang ku berkata, siapa aja deh.
Ribka, benar. Ternyata selama ini aku tidak dewasa dan perlu kedewasaan untuk memulai sebuah hubungan yang baik.
Ketika Aku dan Kamu Menjadi KIta (Ayu Rosi)
Sejak saat itu aku merasa muak dengan kata sekolah, entah lah, mungkin karena aku terlalu mengambil hati dan merasa tidak dihargai berada dalam lingkungan mereka.
“Kilaa, kamu kemana saja? Sudah 2 hari kamu tidak masuk sekolah” tanya Ibu Ida yang merupakan wali kelasku.
“Saya?, ya di rumah Bu,” jawabku singkat.
“Kalo kamu di rumah, kenapa orang tuamu tidak mem beritahu ibu seperti biasa?” jelas Ibu Ida.
“Saya yang minta Bu,” singkatku
“Mau saya telepon orang tuamu?” ancam Bu Ida.
Saat itu aku hanya memandangi langit-langit ruangan kan tor, seandainya yang ada di hadapanku bukanlah orang tua pasti aku akan lawan dan mengelak.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Ibu Ida lagi.
“Ya bu, saya berbohong dan saya minta maaf, saya bolos tanpa sepengetahuan orang tua saya.”
“Ada alasan apa kamu berani bolos seperti itu? Yang Ibu lihat sih kamu sedang ada masalah, kamu itu baru sebulan sekolah di sini dan masih kelas 10 tapi sudah berani bolos,” ucap Bu Ida.
“Saya baik-baik saja kok Bu. Lagi malas aja, hehe,” kujawab Bu Ida dengan berbohong.
“Ibu bisa baca tatapan matamu yang berbohong Kila, cerita saja sama Ibu, siapa tau Ibu bisa bantu toh.”
Aku pun menceritakan apa yang sedang kualami saat ini, merasa tidak dihargai dan dikucilkan karena aku berbeda dengan mereka. Perbedaan membuat mereka tidak menghargaiku, me reka berbicara seenaknya dan tidak memikirkan bagaimana perasaanku. Terkadang aku hanya diam dan mencoba untuk ber sabar, tapi rasanya kesabaran itu hilang ketika mereka benar- benar tidak menganggapku lagi.
“Kenapa kamu mengambil hati? Mungkin mereka hanya ingin bercanda dan ingin dekat denganmu,” jelas Bu Ida.
“Bercanda gak harus kaya gitu kan Bu? Mereka keterlaluan Bu, kadang mereka membicarakan aku dibelakang dan suka me ngejekku.”
“Ya memang, tapi tidak semua seperti itu, karena masih ada kok yang berteman sama kamu. Kamu hanya melihat sebelah mata Kila, cobalah lihat yang lain.”
“Iya Bu ada, tapi saya jera dengan ledekan-ledekan seperti itu. Ada beberapa yang membuat saya jadi malas. Pertama, ada Joko yang suka menganggap dirinya paling benar Bu, dia kayanya benci Bu sama saya. Setiap saya ajak bicara dia selalu tertawa dan tidak menganggap saya. Kedua, Lita dia terkadang baik sekali tapi dia tiba-tiba berubah judes kalau sudah bergabung dengan teman-temannya. Yang terakhir ada Bani yang suka menyontek sama saya Bu. Tapi dia tidak pernah bilang terima kasih sama saya Bu,” jelasku lagi supaya Bu Ida mengerti akan persoalanku. “Nanti Ibu akan panggil siapa yang meledek kamu tadi.
Sekarang Ibu harap kamu jangan malas untuk ke sekolah dan kamu harus fokus mengikuti setiap pelajaran yang ada. Kamu itu pintar jadi sayang kalo disia-siakan. Mengerti? Nanti ibu akan minta penjelasan sama mereka sekarang kamu boleh kembali ke kelas,” Bu Ida mencoba menenangkanku dan memberi saran yang baik.
Setelah aku pikir-pikir lagi tidak ada salahnya jika aku menu ruti saran yang Ibu Ida berikan.
“Baik Bu, saya minta maaf karena sudah bolos sekolah, saya tidak akan mengulanginya lagi Bu,” balasku dengan kepala ter tunduk. Aku pun kembali ke kelas, seperti biasa aku hanya duduk diam dan mendengarkan penjelasan dari guru.
Beberapa jam kemudian.
“Permisi, maaf bu saya ada perlu dengan Kila.” Seorang laki- laki yang meminta ijin pada guru kami untuk memanggilku ka rena ada keperluan. Aku pun keluar sembari memikirkan apa yang akan terjadi. Entahlah.
“Ada apa ya?” tanyaku saat di depan kelas.
“Ikut aja ayo, Bu Ida panggil kamu,” jawabnya singkat.
Aku pun mengikuti laki-laki itu dan melihat lebih jelas, sontak aku teringat bahwa dia adalah salah satu siswa yang se ring kali menggangguku.
“Selamat siang Bu. Ini Kilanya sudah datang,” sapanya.
“Ya, duduk kalian berdua, sebentar Ibu panggilkan yang lainnya,” seru Bu Ida.
Kami hanya mengangguk dan duduk manis sambil menunggu Bu Ida memanggil yang lainnya, entah siapa, melalui telepon.
Tidak lama kemudian datang segerombolan orang-orang yang selama ini aku tidak sukai, orang-orang yang selalu meng gangguku karena sebuah perbedaan.
“Ya, karena kalian sudah berkumpul disini, Ibu mau bertanya terlebih dahulu kepada Joko,” seru Bu Ida memulai percakapan serius kami.
“Saya bu? Ada apa dengan saya?” Joko kebingungan dan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidaklah gatal.
“Joko, kamu kenal perempuan yang di sebelah kamu?” “Ya kenallah Bu, dia kan teman sekelas saya.”
“Apa kamu merasa ada yang salah antara kalian berdua?” tanya Bu Ida lagi.
“Emmm…” Joko mulai berpikir. “Saya pikir tidak ada Bu, saya berteman baik dengan Kila, iya kan Kila?” jawab Joko dan aku hanya melihatnya dengan wajah kebingungan.
“Sekarang Ibu tanya kalian berdua, Lita dan Bani. Kalian juga kenal kan sama Kila?”
Ku lihat mereka hanya tersenyum sinis dan mengiyakan per tanyaan Bu Ida.
“Ibu kenapa sih nanya-nanya gitu? Kami kan sekelas Bu, ya pasti kami kenal lah, hehhe,” jawab Lita yang sedikit kesal.
“Kalian bertiga tidak merasa ada yang salah? Ibu dengar dari Kila kalo kalian suka sekali mengejek dan menyonteknya?” tanya Ibu Ida lebih serius lagi.
“Hah? Ngejek Kila? Nyontek?” sontak Joko, Lita, dan Bani menjawab dengan bersamaan.
“Hahaha gak lah Bu, masa kita ngeledekin temen sendiri. Ya kalo nyontek kan wajar Bu, saya gak bisa, Kila kan pinter bu,” jawab Bani.
“Ya Ibu tau kalo kamu tidak pintar Bani, tapi kamu harus belajar bukan nyontek sama teman!” jawab Ibu Ida sedikit marah. “Baik bu, maafkan kami. Saya suka mengejek Kila karena menurut saya dan teman-teman dia susah untuk bergaul Bu, dia selalu menutup diri untuk bergabung dengan kami,” jawab Lita dengan wajah serius dan sebentar-sebentar dia melirik ke
arahku.
“Baiklah, Ibu sudah menemukan permasalahannya. Ibu akan membantu kalian berdamai dan menyelesaikan permasalahan ini.”
“Bu, kami tidak bermaksud untuk menyakiti Kila, kami pikir kami bisa bergaul baik dengan Kila, ya kami sadar ternyata cara kami bercanda dan itu salah,” seru Joko mencoba menjelaskan. “Iyaaa emang salah bercanda, jangan bawa-bawa keper
cayaan kan bisa. Aku emang beda sama kalian tapi jangan lede kin aku dong,” jawabku.
“Iya kita minta maaf ya Kil. Tapi harusnya kamu terbuka sama kami, jadi gak ada salah paham kaya gini, maklumi kami juga ya soalnya kami pertama kali dapet temen yang beda agamanya,“ seru Bani.
“Tolong maafkan kami dan kami janji gak akan bercanda kelewatan, semoga kita bisa jadi teman dekat ya Kil, dan kita bisa berbagi,” seru Joko lagi yang membuat hati ku sedikit tenang.
“Ya udah, aku maafin, soalnya aku diajarin buat maafin orang lain. Dalam keyakinanku, aku diajar untuk mengasihi se samaku manusia. Jadi aku harus mengampuni kalian, aku gak nuntut banyak kok, cukup hargai aku aja temen-temen.” Mereka pun memahami perkataanku dan hanya mengangguk serta tersenyum padaku.
“Nah, seperti ini kan bagus, karena perbedaan itu jika di satukan sangatlah indah. Bayangkan jika pelangi hanya ada satu warna? Akankah dia tampak indah? Tuhan menciptakan pelangi itu dengan berbagai warna, tujuannya adalah supaya menghasilkan warna yang indah. Sama halnya dengan kita, bayangkan jika kita hanya ada satu warna kulit, wajah kita sama semua, memiliki suku yang sama, kepercayaan yang sama sifat yang sama? Kalo semua sama bagaimana kita menerapkan cara menghormati perbedaan? Jadi Ibu harap kalian bisa menjadi teman baik, bergaul dengan baik. Oke?” jelas Bu Ida yang mem buatku pun sadar bahwa perbedaan itu memang indah apabila kita bersatu dan hidup secara berdampingan.
Setelah kejadian itu, aku pun memiliki banyak teman di kelas. Bukan hanya di kelas saja, tetapi satu sekolah. Aku mu lai mengikuti ekstrakurikuler seperti basket, paduan suara, dan drama. Aku begitu menikmati setiap harinya membuatku sema ngat untuk pergi ke sekolah, belajar, dan bermain bersama-sama dengan teman-temanku. Kami sering kali saling bertukar cerita, bertukar ajaran atau menyamakan berbagai hal yang ada dalam Kitab Suci kami. Ternyata, kami menemukan banyak hal atau ajaran yang sama. Hal itu membuat kami menjadi semakin akrab dan saling menjaga perasaan satu sama lain. Bahkan, orang yang dulu aku kenal jahat ternyata mereka begitu baik dan ceria. Aku salah menilai mereka dan begitu pun dengan mereka yang salah menilaiku. Terima kasih teman karena sudah mau menerima perbedaan ini.
Bersambun —– >