ARTIKEL, selaparangpost.com — Beberapa waktu yang lalu, saya melakukan sebuah survei kecil di Facebook untuk mengetahui bagaimana para pengguna Facebook meletakkan gender pada beberapa padanan frasa seperti ‘Kepala Rumah Tangga’ dan ‘Pekerja Rumah Tangga’. Sesuai prediksi saya, lebih dari 90% menjawab Kepala Rumah Tangga adalah gender laki-laki dan Pekerja Rumah Tangga adalah wanita. Pertanyaan saya, seberapa relevan isu gender dalam pemaknaan kata-kata yang kita gunakan sehari-hari?
Sebelum memulai, ada baiknya kita sepakati makna dari bias gender itu sendiri. Secara umum, bias gender dimaknai sebagai sebuah tekanan lebih pada sebuah makna kata atas gender tertentu. Namun, gender pada pembahasan kali ini bersifat sisiologis, bukan pada sifat dasar asli kata tersebut.
Gender pada sifat kata dapat kita temukan pada bahasa-bahasa tertentu, katakanlah Perancis ataupun Rusia. Bagaimana dengan Bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia tidak memiliki gender asli kata, alias netral.
Namun, bagaimana caranya kata ataupun frasa yang seharusnya netral mampu dikonotasikan secara gender-based oleh masyarakat, seperti pada kasus ‘Kepala Rumah Tangga’ dan ‘Pembantu Rumah Tangga’? Untuk menguraikan ini, ada baiknya kita melihat teori yang dipaparkan oleh seorang Linguis, Noam Chomsky.
Menurutnya, setidaknya ada 4 teori mengenai ini: (1) struktur sosial yang memengaruhi struktur bahasa, (2) struktur bahasa yang memengaruhi struktur sosial, (3) hubungan keduanya bersifat timbal balik, atau (4) mereka tidak berhubungan sama sekali.
Tulisan ini akan kita fokuskan pada teori pertama bahwa struktur bahasa dipengaruhi oleh struktur sosial. Maka, setidaknya untuk melihat bagaimana keniscayaan gender pada kata frasa ‘Pekerja Rumah Tangga’ dan ‘Kepala Rumah Tangga’, kita bisa melihatnya secara sosio-historis.
Secara sosial, umumnya para Pekerja Rumah Tangga adalah seorang wanita, begitu pula para Kepala Rumah Tangga. Hal ini sudah terjadi sekian lama, sehingga menyebabkan keajegan sosial dan dimaknai taken for granted.
Di Indonesia, misalnya, laki-laki diidentikan dengan kekuatan, keberanian, dan agresivitas. Maka, dalam beberapa padanan kata berikut mengafirmasi identifikasi tersebut, seperti raja judi, raja hutan, putra mahkota, dewa mabuk, atau raja jalanan. Sebaliknya, wanita diartikulasikan lebih lembut, damai, dan tenang, seperti putri malu, induk semang, ibu pertiwi, atau ratu adil.
Semangat Egaliterisme
Seperti dimaknai di atas bahwa keberadaan bahasa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh struktur dan dinamika sosial masyarakat, maka upaya rekayasa bahasa untuk membuatnya lebih egaliter pun bisa dilakukan. Hal ini agaknya mencuat ketika semangat persamaan dan kesamaan mulai disuarakan lantang. Tak ketinggalan pula pada aspek bahasa.
Bisa kita saksikan bagaimana beberapa padanan dipadupadankan agar setara atau memiliki keseimbangan secara sosial. Umumnya, penambahan imbuhan -wati atau -i dilakukan pada sebuah kata. Misalnya, kata santriwati untuk menyebut santri dari kalangan wanita. Atau, pemudi untuk menyetarakan wanita atas kata pemuda yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain santriwan-santriwati atau pemuda-pemudi, beberapa contoh lainnya seperti pramugari-pramugara, mahasiswa-mahasiswi, atau karyawan-karyawati. Upaya menyeimbangkan padanan kata seperti contoh tersebut dimaksudkan agar tidak adanya disorientasi makna dan stereotip gender, dan akhirnya mengarah pada praktik diskriminasi.
Dalam jurnal Social Role Theory of Sex Differences and Similarities: A Current Appraisal, Eagly & Diekman menjelaskan bahwa stereotip gender sejatinya dapat merefleksikan wanita dan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya, dalam percakapan yang remeh-temeh sehari-hari, hingga dalam direfensiasi pekerjaan. Oleh karena itu, penyeimbangan padanan kata berbasis gender tidak hanya dimaknai sebagai etika komunikasi saja, namun lebih dari itu, merupakan simbol kesetaraan di dalam sebuah tatanan masyarakat.
Inkonsistensi Kesetaraan Kata
Semangat kesetaraan kata di atas pada satu sisi memang memancing diskursus baru bagi kalangan akademik, namun apakah hal yang serupa terjadi di akar rumput? Beberapa kata mungkin dapat kita padupadankan menjadi satu-kesatuan kata yang setara, namun faktanya tidak semua kata bisa dipadupadankan.
Mari kita ambil contoh, masyarakat awam tidak ada yang menyebut ilmuwati untuk padanan kata ilmuwan, atau budayawati untuk menyeimbangkan kata budayawan. Artinya, konsep kesepadanan kata tidak benar-benar terjadi di akar rumput. Hal ini juga terjadi pada banyak kata lainnya, negarawan, cendekiawan, dan masih banyak lainnya.
Fenomena inkonsistensi gender kata tidak hanya terjadi pada akar rumput saja. Pada beberapa kata yang elitis saja (jika meminjam kacamata kesetaraan kata), dapat dengan mudah kita identifikasi. Misalnya, kata ‘mahasiswa’ pada singkatan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), atau kata ‘pemuda’ pada Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Apakah mahasiswi tidak ada yang menjadi anggota BEM, atau apakah tidak ada pemudi yang berprestasi dalam olahraga? Tentu saja ada. Itu artinya, kata-kata yang digunakan menggunakan asas netral seperti penjelasan paragraf di awal, tidak dibubuhi gender sebagai klasifikasi sosialnya.
Persoalan sebenarnya ini yang ingin dijawab di akhir tulisan ini adalah kapan kita menganggap sebuah kata itu sarat gender dan kapan sebuah makna itu bermakna netral?
Saya tidak ingin menjawabnya dengan jawaban yang eksplisit, karena mungkin saya sendiri tidak tahu. Namun, setidaknya kita dapat memahami bahwa bahasa tidak lahir dari ruang yang vakum. Bahasa lahir dari dinamika dan dimensi sosial masyarakat yang selalu berubah. Maka, sebagai subjek perubah, manusia harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika-dinamika yang dibuatnya. Menafsirkan ulang perihal gender kata adalah salah satunya