CERPEN, selaparangpost.com — Sore itu, aku masih terpaku di satu tempat yang sama. Menatap langit yang perlahan berubah warna menjadi merah menyala yang indah. Seperti kelopak mawar yang merekah, menyisip di belakang gedung-gedung yang menjulang tinggi.
Aku kembali memikirkan kata-katamu sebelum meninggalkan Jakarta sore itu.
Di satu tempat tertinggi, di atas gedung terbengkalai dengan pemandangan yang luas, kami menatap dua patung yang berdiri tegak di tengah kota.
Sore itu adalah waktu yang cukup singkat bagi kita, saat aku menatap bola mata berwarna cokelat hazel yang indah itu, lalu angin sore bertiup lembut membelai anak ponimu.
Saat kamu tiba-tiba mengunciku dengan pernyataan ambisimu.
“Dua hari lagi …,” katamu.
Aku tahu makna dari tiga kata itu. Karena sebelumnya kamu pun telah mengatakannya dengan jelas. Sehingga senyum yang sejak tadi mengembang seketika memudar.
“Apa kamu akan tetap pergi, Lily?” Aku mengalihkan pandangan dari wajahnya ke atas langit, berusaha menahan guncangan hebat di dalam sini. Menolak kenyataan bahwa kamu akan tetap pergi.
“Aku harus pergi, Teo. Ingat, ini adalah mimpiku sejak dulu.”
“Lalu kapan kamu akan kembali?” tanyaku.
Ia diam beberapa saat, membuat detak jantungku kini berpacu lebih cepat. Seharusnya tak kutanyakan pertanyaan itu, karena jawabannya membuatku seperti terpasung di tempat yang sempit dan gelap.
“Aku tidak tahu.”
Aku tersenyum kecut. Paham. Mana mungkin orang seperti Lily mau berjuang bersamaku di kota yang keras ini, tanpa apa-apa? Mana mungkin gadis yang tidak pernah merasakan lapar, tetapi tidak punya uang untuk membeli makanan mau berjuang bersamaku yang kusut dan miskin ini? Seharusnya aku menerima kenyataan ini, tetapi hatiku terus memberontak.
“Kalau begitu semoga sukses, Ly. Kuharap kamu mendapatkan apa yang kamu impikan di sana. Jangan lupakan aku, ya?” kataku lirih.
Ada napas yang tertahan pada penggalan kalimat yang kukelola hati-hati. Tak ingin menunjukkan kelemahanku di depannya. Meski aku sudah merasa kehilangan bahkan sebelum ia pergi.
“Teo, maaf.” Suaranya terdengar lirih.
“Untuk apa?” Aku masih tidak berani menatap mata itu. Takut mengguncang hatiku lebih dalam.
“Aku … aku tidak bisa menep-.”
“Jangan khawatir.” Aku memotong ucapan, bahkan sebelum ia selesai.
“Aku cukup terbiasa dengan situasi ini. Kau tau? Ayahku, ibuku, mereka selalu berjanji akan kembali dan menemuiku, tetapi tak mereka lakukan hingga saat ini. Kakakku berjanji akan tetap hidup bersamaku, tetapi aku malah kehilangannya hanya beberapa saat setelah itu. Jadi jangan khawatir, aku sudah cukup terbiasa,” sambungku. Aku tidak suka dikasihani.
“Aku janji akan tetap mengirimimu surat saat di sana.”
Aku menoleh ke arahmu dan tersenyum. Saat matahari benar-benar tenggelam dan hari itu aku benar-benar kehilanganmu.
Terus menunggu selama belasan tahun, menunggu surat yang kamu janjikan untukku. Menunggu kemungkinan bahwa kau akan kembali dari kata ‘Tidak tahu’ itu. Menyadari bahkan tak ada satu surat yang kuterima sejak kepergianmu.
Kini aku cukup terbiasa dengan kehidupan yang terus mengujiku. Bahkan hingga saat ini, aku masih berada di kota yang sama, di lingkaran patung yang sama, membawa gitar yang sama, tetapi dengan luka yang berbeda.
Lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Aku segera turun ke jalanan dengan keresek putih yang tergantung di bodi gitar. berkeliling di antara para pengendara yang tampak lelah, mulai memainkan lagu cinta yang telah lama hilang di hati mereka yang pernah terluka.