OPINI, selaparangpost.com — Ketimpangan sampai saat ini masih menjadi salah satu permasalahan utama di Indonesia, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi 1997/1998 cenderung stabil dan membaik, tetapi ketimpangan yang ada belum dapat diselesaikan seiring berjalannya waktu dan bergantinya kepemimpinan negara.
Sebagai contoh berdasarkan riset yang dilakukan oleh INFID bahwa Kesenjangan Wilayah antara Jawa dengan Luar Jawa: tahun 1985 sebesar 54,4%‐ 45,6%, sementara data tahun 2012 sebesar 57,6%‐ 42,4%, hal ini tidak ada perubahan yang berarti dari dua wilayah tersebut. Demikian juga jika kita melihat pada pembagian Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, hampir tidak mengalami perubahan dalam 12 tahun terakhir, yaitu sekitar 83% – 17%.
Dari sisi tata kelola pemerintahan, ketimpangan juga belum mendapat perhatian dari aktor-aktor lainnya seperti partai politik dan parlemen dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka masih melihat ketimpangan sebagai isu nomor 2 dibandingkan dengan korupsi, pemerintahan yang baik, reformasi birokrasi ataupun pertumbuhan ekonomi.
Melihat kondisi tersebut, Parpol mestinya sebagai salah satu lembaga yang melakukan kontrol terhadap ketimpangan yang terjadi di Indonesia, karnanya partai politik sebagai aktor pembangunan dalam melihat persoalan yang berkaitan dengan ketimpangan di Indonesia. Mengapa partai politik, karena melalui partai politiklah, aspirasi pemilih bisa diagregasi dalam bentuk kebijakan ketika mereka terpilih sebagai anggota parlemen.
Sayangnya, asumsi publik dalam hal pembangunan dan ketimpangan tertuju pada Eksekutif. Rangking prestasi tidak diukur berdasarkan sejauh mana parpol dan parlemen menyiapkan strategi petaan soal ketimpangan. Padahal, parpol punya peran dalam mengatasinya.
Seiring perkembangan waktu, baik itu parlemen dam juga parpol, hanya melakukan kontrol dan kebijakan hanya pada efektif dan efisiensinya tata kelola pemerintahan (eksekutif) ketimbang parpol punya peran dalam hal ketimpangan.
Sehingga publik cenderung menilai kinerja eksekutif ketimbang legislatif. Akibatnya parpol acuh sebagai tugasnya, yang mestinya ketimpangan sebagai platform dasar geraknya partai politik.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh INFID terhadap kajian parpol terhadap ketimpangan, hanya sedikit parpol yang berbicara mengenai ketimpangan. Itu pun beragam dalam memaknai ketimpangan. Justru parpol adalah salah satu organisasi yang mempunyai platform dalam mengatasi ketimpangan. Artinya, platform demikian tertuang dalam visi/misi parpol. Lebih menarik lagi jika kita mengkaji sejauh mana peranan parpol dalam menyusun metodologi mengatasi ketimpangan?
Menurut badan pusat statistik pada Maret 2022, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio adalah sebesar 0,384. Angka ini meningkat 0,003 poin jika dibandingkan dengan gini ratio September 2021 yang sebesar 0,381, namun tidak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan gini ratio Maret 2021 yaitu sebesar 0,384.
Kenaikan gini ration ini artinya terdapat lajunya pertumbuhan ekonomi namun terdapat juga ketimpangan yang kian naik. Bahkan maraknya pembangunan sebagai jalan pertumbuhan ekonomi, tapi masih jutaan penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data pusat statistik pada Maret 2022 sebesar 9,54 persen dari semula 9, 71 persen dibulan September 2021.
Meskipun tingkat kemiskinan dalam kategori tren menurun, namun ambang batas garis kemiskinan Indonesia meningkat seiring meningkatnya berbagai risiko perekonomian. Menurut data yang dipublis oleh bada pusat statistik, ambang batas garis kemiskinan pada Maret 2022 meningkat sebesar 4,0% menjadi Rp. 505.469 dari sebelumnya yakni Rp 486.168 pada September 2021.
Hal ini menunjukkan bahwa fakta pembangunan dan pertumbuhan semakin maju, namun ketimpangan belum dapat terselesaikan. Meskipun bertahap, tapi setidaknya parpol mempunyai pemetaan dalam mengatasi kesenjangan. Dari aspirasi kemudian dibuatkan kebijakan sebagai ideal method untuk berkontribusi melakukan hal-hal yang sifatnya kontinu.
Dalam hal ini, sepanjang reformasi, parpol hanya konsolidasi dan pengawasan ketimbang mensponsori kesejahteraan. Padahal di seberang jalan yang lain, akumulasi kapitalis terus memperdalam jangkauannya dan memperluas ruangnya. Akumulasi kapitalis ini terus memproduksi pemiskinan, ketidaksetaraan, kehancuran ekologis dan tergerusnya sumber daya bersama (the commons).
Daya dorong ekspansi ekonomik itu diperkuat oleh kekuatan ekstra-ekonomik lainnya, yang terus menjadi bagian yang mengukuhkan dan memapankan dominasi dan eksploitasi itu. Ini diperparah oleh absennya parpol dalam penggunaan politik radikal sebuah kerangka politik yang mampu melumpuhkan ekspansi corak produksi yang akumulatif; sebuah kerangka politik yang dapat menghentikan berbagai katastrofi dan kerusakan sosial-ekologis; sebuah kerangka pengurusan politik yang mampu menghadirkan kesejahteraan, keadilan dan kesetaraan bagi masyarakat.